Selasa, 16 Februari 2016

Mengenal Fungsi Niat & Makna Niat Dalam Tuntunan Islam

 

Fungsi niat: Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah

Keinginan hati untuk melakukan suatu amalan, itulah makna daripada niat. Niat merupakan perkara yang amat penting dalam Islam. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengabarkan bahwa segala amal perbuatan itu tergatung pada niat Si Pelaku. Seorang mendapatkan buah dari amalannya sesuai keadaan niat dalam hatinya. Dalam sebuah hadist yang masyhur, disampaikan oleh sahabat Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahua’laihi wasallam bersabda,
إنما الأ عمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan” (HR Bukhari & Muslim)
Oleh karenya para ulama memberikan perhatian cukup besar terhadap perkara niat ini. Sampai-sampai mereka mengarang sebuah kitab yang hanya membahas permasalahan niat. Sebut saja Abu Bakr bin Abid Dun-ya rahimahullah, beliau telah mengarang sebuah kitab yang khusus membahas permasalahan ini. Judulnya Al-ikhlas wan Niyyah (ikhlas dan niat). Ini menunjukkan bahwa niat tak bisa dipandang sebelah mata. Dan seorang akan menyadari urgensi niat bila ia mengerti betapa besar fungsi daripada niat ini.

Lalu apa fungsi niat ?

Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau Jami’ al-‘ulum wal hikam mengenai fungsi dari niat, bahwa ada dua fungsi niat:
Pertama, Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.
Kedua, Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah. Jadi apakah seorang beribadah karena mengharap wajah Allah ataukah ia beribadah karena selain Allah, seperti mengharapkan pujian manusia.
(Lihat: Jami’ al-‘ulum wal hikam, hal. 67).
Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lain. Contohnya, shalat yang dua raka’at itu banyak. Ada shalat yang wajib dan tak sedikit shalat sunah yang dua raka’at. Kita ambil contoh shalat qabliyah subuh dengan shalat subuh. Keduanya berjumlah dua raka’at. Tata caranya pun sama, jumlah ruku’ dan sujudnya juga sama.Sama-sama diawali takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Lalu apa yang memedakan antara dua raka’at qabliyah subuh dengan dua raka’at shalat subuh? Itu lah niat yang membedakan antara keduanya.
Atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Misal, antara mandi junub dengan mandi biasa. Dari segi tatacara sama; sama-sama mengguyurkan air keseluruh badan. Sama-sama pakai sabun, dan sama-sama keramas juga. Lalu apa yang membedakan? Niat yang membedakannya. Jadi amalan yang pada asalnya hanya kebiasaan bisa bernilai ibadah bila diniati ibadah.
Kemudian fungsi niat kedua adalah Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah . Pembahasan inilah yang sering kita kenal dengan istilah ikhlas. Jadi apakah seorang tatkala ia beribadah ikhlas lillahi ta’ala, atau hanya mengharap perhatian manusia?
Dan kita tahu bahwasannya Allah ta’ala tidak akan merima amalan seorang hamba melainkan yang dilakukan karena ikhlas mengharap keridhaan-Nya semata. Karena Allah ta’ala Maha Kaya, Dia tidak butuh persekutuan dalam peribadatan kepadaNya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah ta’ala berfirman,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Aku sangat tidak butuh sekutu, siapa saja yang beramal menyekutukan sesuatu dengan-Ku, maka Aku akan meninggalkan dia dan syirknya.” (HR. Muslim)
Fungsi niat yang kedua ini pula yang seringkali dimaksudkan dalam perkataan-perkataan ulama salaf. Seperti perkataan seorang alim; Abdullah bin Mubarak rahimahullah,
رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية
Boleh jadi amalan yang sepele, menjadi besar pahalanya disebabkan karena niat. Dan boleh jadi amalan yang besar, menjadi kecil pahalanya karena niat. ”
Jadi dari fungsi niat yang kedua ini kita dapat menyimpulkan bahwa niat akan mempengaruhi kadar pahala yang diperoleh seorang hamba. Semakin murni keikhlasannya, semakin besar pahala yang akan ia dapat. Walau amalan yang ia lakukan ringan. Dan Semakin kecil kadar keikhlasan seorang hamba; walau amalan yang ia lakukan adalah amalan yang berpahala besar, namun bila keikhlasan dalam hatinya kecil, maka semakin kecil pula pahala yang ia peroleh.
Juga perkataan ulama salaf lainnya seperti Yahya bin Abi Katsir rahimahullah,
تَعَلَّمُوا النِّيَّةَ فَإِنَّهَا أَبلَغُ مِنَ العَمَل
ِ
“Pelajarilah niat, karena ia lebih dahulu sampai di sisi Allah daripada amalan“
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata,
صَلاَحُ القَلبِ بِصَلاَحِ العَمَلِ، وَ صَلاَحُ العَمَلِ بِصَلاَحِ النِّيَّة
ِ
Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Dan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah,
مَا عَالَجتُ شَيئًا أَشَدُّ عَليَّ مِن نِيَّتِي لأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَليّ
َ
“Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk saya obati, kecuali masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik dalam diriku“.




Mengaplikasikan  niat dalam melakukan suatu amal ibadah agar amal yang dilakukan tidak sia-sia, hal ini sangat penting karena makna niat sebenarnya tidak hanya sebatas bermaksud untuk melakukan suatu amal saja, melainkan amal tersebut harus bersandar dengan ketentuan yang sudah digariskan Islam.
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan
أنّ النيّةَ تَرْجع إلى الإخْلاصِ، وهو واحدٌ للواحدِ الذي لاشريكَ له
“Sesungguhnya niat itu kembali pada ikhlas, dan ikhlas adalah satu untuk Yang Satu tiada sekutu bagi-Nya.”

Imam Baidlawi berpendaapat
الإرادةُ المُتوجِّهةُ نحوَ الفعلِ    لابْتغاءِ رضاءِ الله وامْتثالِ حكمِه
“Maksud yang terarah dalam melaksanakan suatu amal ibadah  hanya mencari Keridhaan Allah dan dalam pelaksanaannya mentaati hukum-Nya.”

Dari kedua pendapat di atas jelas bahwasannya untuk dapat diterimanya amal  harus memenuhi persyaratan yang tekandung dalam makna niat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa niat itu adalah satu untuk Yang Satu, mengandung pengertian bahwa amal harus sesuai dengan peraturan yang telah digariskan oleh yang Satu (risalah Islam sebagai hukum yang buat oleh Allah swt), sehingga untuk menuju Yang Satu tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan.
Senada dengan keterangan di atas yaitu yang disampaikan Imam Baidlawi bahwa berniat dengan maksud yang terarah hanya untuk meraih Ridha Allah SWT dan pula dalam amalnya tersebut mengikuti  dan tunduk pada  cara yang telah di gariskan Allah swt.
Dengan demikian bahwa apabila seorang muslim berniat untuk melakukan ibadah hanya menuju Ridha Allah tapi tanpa mengikuti tata cara ibadah yang di ajarkan Rasulullah saw maka dia tidak akan sampai amalnya kepada Allah swt karena persyaratan mutlak untuk tunduk pada hukum Allah tidak terpenuhi.
Imam Fudlail bin  ‘Iyad dalam menafsirkan ayat 2 surat Al-Mulku
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ‌

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
“siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” kalimat ini di tafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang yang melakukan amalnya dengan ikhlas dan benar, selanjutnya Imam Fudlail bin  ‘Iyad mengatakan :

إنّ العَملَ إذا كانَ خالِصًا ولَمْ يكُنْ صَوابًا لَمْ يُقْبَلْ، وإذا كان صَوابًا ولَمْ يكُنْ خالِصًا لَمْ يُقْبَلْ، حتّى يكونَ خالِصًا صَوابًا. ألخالص  أنْ يكونَ لله، والصَوابُ أنْ يكونَ على الكتابِ والسُنَّةِ

“Sesungguhnya apabila melaksanakan amal dengan ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima, apabila amal itu benar namun tidak ikhlas maka tidak akan diterima, sehingga amal yang diterima itu harus ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah karena Allah swt semata dan amal yang benar itu adalah sesuai dengan Kitab Allah swt dan Sunnah Rasulullah SAW.”

Al-Allamah Ibnu Qayyim berkomentar tentang niat : Sebagian Ulama Salaf mengatakan, tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil, melainkan  dibentangkan kepadanya dua catatan, yaitu  mengapa dan bagaimana? yakni mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan?

Jadi sebagai seorang Ahlus-sunnah Wal Jama’ah dalam melakukan sebuah amal ibadah harus membersihkan tujuan yang lain kecuali hanya Allah semata dan amal ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan Syari’at, tidak bisa seorang muslim melaksanakan ibadah hasil dari buah fikirannya sendiri yang mereka anggap baik.

Sebagai seorang muslim yang rendah hati mereka akan melihat ke diri sendiri dan bertanya, sudahkah amal ibadah yang dilakukannya seiring dengan ketentuan syari’at ataukah masih bersandar pada taqlid buta? sementara taqlid akan mengantarkan pada amal-amal muhdatsat (sesuatu hal baru yang diada-adakan menyerupai syari’at).

Di zaman sekarang ini kalau semua muslim jujur akan dirinya, tanpa disadari dan diketahui mayoritas mereka melaksanakan ibadahnya sudah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah yang sebenarnya, hanya anehnya tatkala kebenaran yang bersandar kepada Rasul disampaikan mereka seolah menolaknya. Tapi penolakan mereka sangat bisa dimaklumi mungkin karena mereka belum mengetahui Islam yang sebenarnya.

Sebagai suatu bukti untuk perenungan, pelaksanaan shalat yang sehari-hari dilakukan, sudahkah yakin bahwa apa yang dilaksanakan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW?, tatkala diajukan pertanyaan seperti ini mereka menjawab tidak tahu, inilah potret kaum muslimin di akhir zaman.

Wabillahit taufiq wal hidayah.

sumber : 
https://muslim.or.id/22495-mengenal-fungsi-niat.html
http://syfakumala.blogspot.co.id/2012/05/makna-niat-dalam-tuntunan-islam.html

Senin, 01 Februari 2016

Pengertian Amanah dan Penerapannya

PENGERTIAN AMANAH DAN PENERAPANNYA



A.    Pengertian Amanah
Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)
Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)
Ayat di atas menegaskan bahwa amanah tidak melulu menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Kata-kata adalah amanah. Menunaikan hak Allah adalah amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik adalah amanah. Ini di perkuat dengan perintah-Nya: “Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” Dan keadilan dalam hukum itu merupakan salah satu amanah besar.
Itu juga di perjelas dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya.
Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dan Allah SWT. berfirman: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72)
Dari nash-nash Al-Qur’an dan sunnah di atas nyatalah bahwa amanah tidak hanya terkait dengan harta dan titipan benda belaka. Amanah adalah urusan besar yang seluruh semesta menolaknya dan hanya manusialah yang diberikan kesiapan untuk menerima dan memikulnya. Jika demikian, pastilah amanah adalah urusan yang terkait dengan jiwa dan akal. Amanah besar yang dapat kita rasakan dari ayat di atas adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan menunaikannya sebagaimana mestinya.

B.     Amanah dan Iman
Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)
Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya–, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)

C.    Macam-macam Amanah
Pertama, amanah fitrah. Dalam fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah selaras betul dengan aturan Allah yang berlaku di alam semesta. Allah swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172).
Akan tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah fitrah tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan kebenaran.
Kedua, amanah taklif syar’i (amanah yang diembankan oleh syari’at). Allah SWT. telah menjad©ikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan fara-idh (kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian mengabaikannya; menentukan batasan-batasan (hukum), maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena lupa.” (hadits shahih)
Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan Islam. Setiap muslim mendapat amanah untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menggariskan sunnah yang baik maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang rang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (Hadits shahih)
Keempat, amanah dakwah. Selain melaksanakan ajaran Islam, seorang muslim memikul amanah untuk mendakwahkan (menyeru) manusia kepada Islam itu. Seorang muslim bukanlah orang yang merasa puas dengan keshalihan dirinya sendiri.
Ia akan terus berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia. Amanah ini tertuang dalam ayat-Nya: “Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat 0yang baik.” (An-Nahl: 125)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan usaha Anda, maka hal itu pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan deng0an dunia dan segala isinya.” (al-hadits)
Kelima, amanah untuk mengukuhkan kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah swt. dalam segala aspek kehidupannya. Tentang amanah yang satu ini, Allah swt. menegaskan: “Allah telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)
Keenam, amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama). Untuk dapat menunaikan kewajiban, seorang muslim haruslah memahami Islam. “Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
D.    MAKNA AMANAH
1.   Secara Bahasa: Bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan)
2.   Secara Definisi: Seorang muslim memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Hal ini didasarkan pada firman ALLAH SWT: “Sesungguhnya ALLAH memerintahkan kalian untuk mengembalikan titipan-titipan kepada yang memilikinya, dan jika menghukumi diantara manusia agar menghukumi dengan adil…” (QS 4/58)
Maka yang termasuk amanah bukan hanya dalam hal materi atau hal yang berkaitan dengan kebendaan saja, melainkan berkaitan dengan segala hal, seperti memenuhi tuntutan ALLAH adalah amanah, bergaul dengan manusia dengan cara yang terbaik adalah amanah, demikian seterusnya.

E.     DALIL-DALIL SYARIAT
1.   Al-Qur’an: Kedua firman ALLAH SWT di atas (QS 4/58; 33/72) dan QS 2/283; 8/27; 23/8; 70/32
2.   As-Sunnah:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat, seorang pemimpin pemerintahan adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya, suami adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang anggota keluarganya, istri adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rumah tangga suaminya serta anak-anaknya, dan seorang pembantu adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang harta benda majikannya, ingatlah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat.” (HR Muttafaq ‘alaih, dalam Lu’lu wal Marjan hadits no. 1199)
“Ada 4 perkara yang jika semuanya ada pada dirimu maka tidak berbahaya bagimu apa yang terlepas darimu dalam dunia: Benar ketika berbicara, menjaga amanah, sempurna dalam akhlaq, menjaga diri dari meminta.” (HR Ahmad dalam musnadnya 2/177; Hakim dalam al-Mustadrak 4/314 dari Ibnu Umar ra; berkata Imam al-Mundziri ttg hadits ini: Telah meriwayatkan Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Thabrani, Baihaqi dengan sanad yang hasan, lih. At-Targhib wa Tarhib 3/589)
 F.     HUBUNGAN AMANAH DENGAN KEIMANAN
1.   Amanah Merupakan Tuntutan Iman, dan khianat merupakan tanda hilangnya keimanan dan mulai merasuknya kekafiran dalam diri seseorang. Sabda nabi SAW: “Tidak ada iman pada orang-orang yang tidak ada amanah dalam dirinya, dan tidak ada agama pada orang yang tidak bisa dipegang janjinya.” (HR Ahmad 3/135, Ibnu Hibban dalam shahihnya Mawarid azh-Zham’an-47, al-Bazzar dalam musnadnya Kasyful Astar-100, lih. Juga dalam Albani Shahih Jami’ Shaghir-7056.
2.   Hilangnya Amanah Merupakan Tanda Kiamat, yang salah satu cirinya adalah dipegangnya amanah oleh yang orang-orang bukan ahlinya dalam masalah tersebut. Sabda nabi SAW: “Ketika amanah telah disia-siakan maka tunggulah tibanya Kiamat.” Kata para sahabat ra: Bagaimanakah disia-siakannya wahai rasuluLLAH? Jawab nabi SAW: “Ketika suatu urusan dipegang oleh yang bukan ahlinya maka tunggulah tibanya Kiamat.’” (HR Bukhari dalam Fathul Bari’ hadits no. 59 dan 6496)
3.    Hilangnya Amanah Terjadi Bertahap, sebagaimana sabda nabi SAW: “Seorang tertidur maka hilanglah amanah dari hatinya bagaikan titik hitam, lalu ketika ia tertidur lagi maka hilanglah amanah tersebut bagaikan bekas/jejak, demikianlah seterusnya sampai tidak ada lagi amanah dihatinya, dan tidak ada lagi di hati manusia, sehingga mereka tidak menemukan lagi orang yang amanah. Maka berkatalah sebagian mereka: Di tempat anu masih ada seorang yang bisa dipercaya. Sampai dikatakan kepada seseorang: Ia tidak bisa dipegang, tidak berakal, tidak ada dihati mereka sebesar biji sawi dari keimanan.” (HR Muslim dalam Mukhtashar Shahih Muslim hadits no. 2035)

G.    JENIS-JENIS AMANAH
Islam adalah agama yang sempurna, ia adalah sistem yang mencakup IPOLEKSOSBUDHANKAM (Idiologi, POLitik, Ekonomi, SOSial BUDaya serta pertaHANan dan KeAManan). Islam tidak hanya bicara aqidah atau ibadah saja melainkan ia adalah sebuah sistem yang paripurna mencakup aqidah dan ibadah, agama dan negara, peradaban dan pedang.
Oleh karenanya maka amanah yang dibebankan ALLAH SWT atas seorang muslim adalah mengarahkan semua sistem di atas agar sesuai dengan aturan ALLAH SWT, dan membebaskan manusia dari penyembahan manusia atas manusia dalam seluruh aspek kehidupan menuju penyembahan kepada ALLAH SWT saja, tiada sekutu bagi-NYA, untuk-NYA kita beramal dan kepada-NYA kita akan kembali.
Oleh karena itu maka amanah yang diberikan kepada manusia adalah sebagai berikut:
  1. Amanah Fithrah: Yaitu amanah yang diberikan oleh Sang Pencipta SWT sejak manusia dalam rahim ibunya, bahkan jauh sejak dimasa alam azali, yaitu mengakui bahwa ALLAH SWT sebagai RABB/Pencipta, Pemelihara dan Pembimbing (QS 7/172).
  2. Amanah Syari’ah/Din: Yaitu untuk tunduk patuh pada aturan ALLAH SWT dan memenuhi perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA, barangsiapa yang tidak mematuhi amanah ini maka ia zhalim pada dirinya sendiri, dan bodoh terhadap dirinya, maka jika ia bodoh terhadap dirinya maka ia akan bodoh terhadap RABB-nya (QS 33/72).
  3.  Amanah Hukum/Keadilan: Amanah ini merupakan amanah untuk menegakkan hukum  ALLAH SWT secara adil baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun bernegara (QS 4/58). Makna adil adalah jauh dari sifat ifrath (ekstrem/berlebihan) maupun tafrith (longgar/berkurangan).
  4.  Amanah Ekonomi: Yaitu bermu’amalah dan menegakkan sistem ekonomi yang sesuai dengan aturan syariat Islam, dan menggantikan ekonomi yang bertentangan dengan syariat serta memperbaiki kurang sesuai dengan syariat (QS 2/283).
  5.  Amanah Sosial: Yaitu bergaul dengan menegakkan sistem kemasyarakatan yang Islami, jauh dari tradisi yang bertentangan dengan nilai Islam, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, menepati janji serta saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih-sayang (QS 23/8).
  6.  Amanah Pertahanan dan Kemanan: Yaitu membina fisik dan mental, dan mempersiapkan kekuatan yang dimiliki agar bangsa, negara dan ummat tidak dijajah oleh imperialisme kapitalis maupun komunis dan berbagai musuh Islam lainnya (QS 8/27).

 PENUTUP

A.    Kesimpulan
Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan.
Macam-macam amanah : amanah fitrah amanah Syariah.
Amanah Merupakan Tuntutan Iman, dan khianat merupakan tanda hilangnya keimanan dan mulai merasuknya kekafiran dalam diri seseorang. Sabda nabi SAW: “Tidak ada iman pada orang-orang yang tidak ada amanah dalam dirinya, dan tidak ada agama pada orang yang tidak bisa dipegang janjinya.
Hilangnya Amanah Merupakan Tanda Kiamat, yang salah satu cirinya adalah dipegangnya amanah oleh yang orang-orang bukan ahlinya dalam masalah tersebut. Sabda nabi SAW: “Ketika amanah telah disia-siakan maka tunggulah tibanya Kiamat
Dalil-Dalil:
Al-Qur’an: Kedua firman ALLAH SWT di atas (QS 4/58; 33/72) dan QS 2/283; 8/27; 23/8; 70/32.
As-Sunnah :
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat

B.     Saran
Amanah merupakan sesuatu kepercayaan yang diberikan kepada umat manusia dari siapapun kepada siapapun dan harus dipertanggung jawabkan baik burukya dihadapan Allah swt dikemudian hari.

sumber : https://arlinaagung.wordpress.com/tugas-internet-desaing-dan-web/pendidikan-agama-islam-pengertian-amanah-dan-penerapannya/

Copyright @ 2013 Rohis SMK Negeri 1 Depok (RHISAD).

Designed by MediaIslami | MEDIARHISAD