Selasa, 16 Februari 2016

Filled Under:

Mengenal Fungsi Niat & Makna Niat Dalam Tuntunan Islam

 

Fungsi niat: Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah

Keinginan hati untuk melakukan suatu amalan, itulah makna daripada niat. Niat merupakan perkara yang amat penting dalam Islam. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengabarkan bahwa segala amal perbuatan itu tergatung pada niat Si Pelaku. Seorang mendapatkan buah dari amalannya sesuai keadaan niat dalam hatinya. Dalam sebuah hadist yang masyhur, disampaikan oleh sahabat Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahua’laihi wasallam bersabda,
إنما الأ عمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan” (HR Bukhari & Muslim)
Oleh karenya para ulama memberikan perhatian cukup besar terhadap perkara niat ini. Sampai-sampai mereka mengarang sebuah kitab yang hanya membahas permasalahan niat. Sebut saja Abu Bakr bin Abid Dun-ya rahimahullah, beliau telah mengarang sebuah kitab yang khusus membahas permasalahan ini. Judulnya Al-ikhlas wan Niyyah (ikhlas dan niat). Ini menunjukkan bahwa niat tak bisa dipandang sebelah mata. Dan seorang akan menyadari urgensi niat bila ia mengerti betapa besar fungsi daripada niat ini.

Lalu apa fungsi niat ?

Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau Jami’ al-‘ulum wal hikam mengenai fungsi dari niat, bahwa ada dua fungsi niat:
Pertama, Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.
Kedua, Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah. Jadi apakah seorang beribadah karena mengharap wajah Allah ataukah ia beribadah karena selain Allah, seperti mengharapkan pujian manusia.
(Lihat: Jami’ al-‘ulum wal hikam, hal. 67).
Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lain. Contohnya, shalat yang dua raka’at itu banyak. Ada shalat yang wajib dan tak sedikit shalat sunah yang dua raka’at. Kita ambil contoh shalat qabliyah subuh dengan shalat subuh. Keduanya berjumlah dua raka’at. Tata caranya pun sama, jumlah ruku’ dan sujudnya juga sama.Sama-sama diawali takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Lalu apa yang memedakan antara dua raka’at qabliyah subuh dengan dua raka’at shalat subuh? Itu lah niat yang membedakan antara keduanya.
Atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Misal, antara mandi junub dengan mandi biasa. Dari segi tatacara sama; sama-sama mengguyurkan air keseluruh badan. Sama-sama pakai sabun, dan sama-sama keramas juga. Lalu apa yang membedakan? Niat yang membedakannya. Jadi amalan yang pada asalnya hanya kebiasaan bisa bernilai ibadah bila diniati ibadah.
Kemudian fungsi niat kedua adalah Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah . Pembahasan inilah yang sering kita kenal dengan istilah ikhlas. Jadi apakah seorang tatkala ia beribadah ikhlas lillahi ta’ala, atau hanya mengharap perhatian manusia?
Dan kita tahu bahwasannya Allah ta’ala tidak akan merima amalan seorang hamba melainkan yang dilakukan karena ikhlas mengharap keridhaan-Nya semata. Karena Allah ta’ala Maha Kaya, Dia tidak butuh persekutuan dalam peribadatan kepadaNya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah ta’ala berfirman,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Aku sangat tidak butuh sekutu, siapa saja yang beramal menyekutukan sesuatu dengan-Ku, maka Aku akan meninggalkan dia dan syirknya.” (HR. Muslim)
Fungsi niat yang kedua ini pula yang seringkali dimaksudkan dalam perkataan-perkataan ulama salaf. Seperti perkataan seorang alim; Abdullah bin Mubarak rahimahullah,
رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية
Boleh jadi amalan yang sepele, menjadi besar pahalanya disebabkan karena niat. Dan boleh jadi amalan yang besar, menjadi kecil pahalanya karena niat. ”
Jadi dari fungsi niat yang kedua ini kita dapat menyimpulkan bahwa niat akan mempengaruhi kadar pahala yang diperoleh seorang hamba. Semakin murni keikhlasannya, semakin besar pahala yang akan ia dapat. Walau amalan yang ia lakukan ringan. Dan Semakin kecil kadar keikhlasan seorang hamba; walau amalan yang ia lakukan adalah amalan yang berpahala besar, namun bila keikhlasan dalam hatinya kecil, maka semakin kecil pula pahala yang ia peroleh.
Juga perkataan ulama salaf lainnya seperti Yahya bin Abi Katsir rahimahullah,
تَعَلَّمُوا النِّيَّةَ فَإِنَّهَا أَبلَغُ مِنَ العَمَل
ِ
“Pelajarilah niat, karena ia lebih dahulu sampai di sisi Allah daripada amalan“
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata,
صَلاَحُ القَلبِ بِصَلاَحِ العَمَلِ، وَ صَلاَحُ العَمَلِ بِصَلاَحِ النِّيَّة
ِ
Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Dan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah,
مَا عَالَجتُ شَيئًا أَشَدُّ عَليَّ مِن نِيَّتِي لأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَليّ
َ
“Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk saya obati, kecuali masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik dalam diriku“.




Mengaplikasikan  niat dalam melakukan suatu amal ibadah agar amal yang dilakukan tidak sia-sia, hal ini sangat penting karena makna niat sebenarnya tidak hanya sebatas bermaksud untuk melakukan suatu amal saja, melainkan amal tersebut harus bersandar dengan ketentuan yang sudah digariskan Islam.
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan
أنّ النيّةَ تَرْجع إلى الإخْلاصِ، وهو واحدٌ للواحدِ الذي لاشريكَ له
“Sesungguhnya niat itu kembali pada ikhlas, dan ikhlas adalah satu untuk Yang Satu tiada sekutu bagi-Nya.”

Imam Baidlawi berpendaapat
الإرادةُ المُتوجِّهةُ نحوَ الفعلِ    لابْتغاءِ رضاءِ الله وامْتثالِ حكمِه
“Maksud yang terarah dalam melaksanakan suatu amal ibadah  hanya mencari Keridhaan Allah dan dalam pelaksanaannya mentaati hukum-Nya.”

Dari kedua pendapat di atas jelas bahwasannya untuk dapat diterimanya amal  harus memenuhi persyaratan yang tekandung dalam makna niat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa niat itu adalah satu untuk Yang Satu, mengandung pengertian bahwa amal harus sesuai dengan peraturan yang telah digariskan oleh yang Satu (risalah Islam sebagai hukum yang buat oleh Allah swt), sehingga untuk menuju Yang Satu tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan.
Senada dengan keterangan di atas yaitu yang disampaikan Imam Baidlawi bahwa berniat dengan maksud yang terarah hanya untuk meraih Ridha Allah SWT dan pula dalam amalnya tersebut mengikuti  dan tunduk pada  cara yang telah di gariskan Allah swt.
Dengan demikian bahwa apabila seorang muslim berniat untuk melakukan ibadah hanya menuju Ridha Allah tapi tanpa mengikuti tata cara ibadah yang di ajarkan Rasulullah saw maka dia tidak akan sampai amalnya kepada Allah swt karena persyaratan mutlak untuk tunduk pada hukum Allah tidak terpenuhi.
Imam Fudlail bin  ‘Iyad dalam menafsirkan ayat 2 surat Al-Mulku
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ‌

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
“siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” kalimat ini di tafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang yang melakukan amalnya dengan ikhlas dan benar, selanjutnya Imam Fudlail bin  ‘Iyad mengatakan :

إنّ العَملَ إذا كانَ خالِصًا ولَمْ يكُنْ صَوابًا لَمْ يُقْبَلْ، وإذا كان صَوابًا ولَمْ يكُنْ خالِصًا لَمْ يُقْبَلْ، حتّى يكونَ خالِصًا صَوابًا. ألخالص  أنْ يكونَ لله، والصَوابُ أنْ يكونَ على الكتابِ والسُنَّةِ

“Sesungguhnya apabila melaksanakan amal dengan ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima, apabila amal itu benar namun tidak ikhlas maka tidak akan diterima, sehingga amal yang diterima itu harus ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah karena Allah swt semata dan amal yang benar itu adalah sesuai dengan Kitab Allah swt dan Sunnah Rasulullah SAW.”

Al-Allamah Ibnu Qayyim berkomentar tentang niat : Sebagian Ulama Salaf mengatakan, tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil, melainkan  dibentangkan kepadanya dua catatan, yaitu  mengapa dan bagaimana? yakni mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan?

Jadi sebagai seorang Ahlus-sunnah Wal Jama’ah dalam melakukan sebuah amal ibadah harus membersihkan tujuan yang lain kecuali hanya Allah semata dan amal ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan Syari’at, tidak bisa seorang muslim melaksanakan ibadah hasil dari buah fikirannya sendiri yang mereka anggap baik.

Sebagai seorang muslim yang rendah hati mereka akan melihat ke diri sendiri dan bertanya, sudahkah amal ibadah yang dilakukannya seiring dengan ketentuan syari’at ataukah masih bersandar pada taqlid buta? sementara taqlid akan mengantarkan pada amal-amal muhdatsat (sesuatu hal baru yang diada-adakan menyerupai syari’at).

Di zaman sekarang ini kalau semua muslim jujur akan dirinya, tanpa disadari dan diketahui mayoritas mereka melaksanakan ibadahnya sudah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah yang sebenarnya, hanya anehnya tatkala kebenaran yang bersandar kepada Rasul disampaikan mereka seolah menolaknya. Tapi penolakan mereka sangat bisa dimaklumi mungkin karena mereka belum mengetahui Islam yang sebenarnya.

Sebagai suatu bukti untuk perenungan, pelaksanaan shalat yang sehari-hari dilakukan, sudahkah yakin bahwa apa yang dilaksanakan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW?, tatkala diajukan pertanyaan seperti ini mereka menjawab tidak tahu, inilah potret kaum muslimin di akhir zaman.

Wabillahit taufiq wal hidayah.

sumber : 
https://muslim.or.id/22495-mengenal-fungsi-niat.html
http://syfakumala.blogspot.co.id/2012/05/makna-niat-dalam-tuntunan-islam.html

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 Rohis SMK Negeri 1 Depok (RHISAD).

Designed by MediaIslami | MEDIARHISAD